PINTU GERBANG (1981)

Leave a comment

PINTU GERBANG

 

Sewaktu-waktu mungkin engkau juga berada

di Pintu Gerbang itu

Seperti aku dulu, tak kenal waktu menunggu

sepanjang musim kemarau yang garang

hingga dengan sangat sunyi menyaksikan:

Cinta tak pernah lagi lewat di situ

 

Pada kedua tiangnya ada bekas tanganku

Di tanah, tempat lumut mati

ada bekas telapak kakiku

tanda aku pun tegak lama di sana

nyaris seperti Prometheus disiksa Zeus

dirantai negerinya sendiri

 

1981

BUNGA (1979)

Leave a comment

Leon Agusta

BUNGA

paduan suara

 

bunga-bunga yang tumbuh

di tumpukan tulang-tulang

mulai mekar

aroma tersebar

mengintai pengkhianat

 

bunga-bunga yang tumbuh

di tumpukan tulang-tulang

mulai mekar

aroma tersebar

mengundang prahara

 

bunga-bunga yang tumbuh

di tumpukan tulang-tulang

mulai mekar

aroma tersebar

menyiapkan medan laga

 

bila bunga-bunga yang tumbuh

di tumpukan tulang-tulang

sudah bermekaran

aroma terbang bertebaran

dari manakah datangnya kebangkitan

mengakhiri pemusnahan

 

 

1979

DI PENYEBERANGAN (1979)

Leave a comment

DI PENYEBERANGAN

 

1

Inilah saatnya !

Dalam tumpah hujan dan petir sambar menyambar

Kita harus menyeberangi mulut sungai yang menganga

di hadapan kita ini. Lihat dan dengarkan. Suara sungai itu meng-

ancam, gemuruh melintasi batu-batu seperti  ia sedang  melalap

mangsanya sampai habis dengan tulang-tulangnya. Hutan di

belakang kita sudah kita bakar; asapnya masih mengepul

menghitamkan udara

Ayoh !

Lepaskan segala jubah dan pakaian kebesaran celaka

biarkan hanyut dalam laju banjir buat pesta buaya-buaya

yang menunggu di muara dengan lapar haus darah

Tongkat kita bukan dari Musa. Kita juga tak punya perahu

Nuh.

Kita tak punya sesuatu yang membawa mukjizat

Seharusnya kita sudah menyeberang sejak dulu; seperti

orang lain ketika betemu hulu sungai yang jernih; ketika masih

ada waktu membuat rakit. Kini sudah terlambat.

Masihkah kita bisa berdoa ?

Kita sudah mengembara jauh sekali untuk mengelakkan

tempat ini. Kenapa kita bisa sampai di sini? Oh, Tuhan !

Pengikut-pengikut kita sudah mulai memuntahkan sumpah

dan kutukannya. Gelora banjir membongkar keberaniannya

hingga jadi haus darah. Kegilaan ini sungguh mustahil. Mereka

siap melemparkan kita.

Lidah banjir menjilat-jilat bibir sungai seperti ular bersiap

sebelum menerkam. Di atas kepala burung-burung pemakan

bangkai mengepakkan sayapnya mencari mangsa. Suaranya

melengking-lengking menunggu waktu untuk berpesta.

 

2

Aneh !

Kenapa tiba-tiba teriakan mereka terasa sebagai sesuatu

yang benar ? Tapi mengerikan, oh Tuhan. Alangkah enaknya

bila tak punya pengikut. Kenapa aku tak menjadi manusia biasa

saja ? Kenapa tak Kau ciptakan aku jadi air saja, atau angin,

atau cahaya ?

Kini aku harus menyeberangkan mereka semua. Tapi me-

reka hanya percaya akan bisa selamat bila darahku ditumpahkan

ke dalam banjir gila ini sebagai persembahan upacara yang

mereka ciptakan sendiri untuk memusnahkan kekuasaanku.

Tak pernah aku berikan ajaran sedemikian

Ini kegilaan nasib semata-mata. Mereka keliru menafsirkan

keinginannya. Kini mereka mulai menuduhku, takbur dan

pongah, ganas dan pengecut. Padahal, akulah yang lahir seba-

gai penakluk gurun dan padang, semenanjung dan lautan, bahkan

jagat  raya

Mereka adalah umat yang taat, Tuhan. Dan kepadaku

mereka teramat penurut. Juga waktu melintasi padang-padang

luas, merangkaki rimba belantara dan gurun tandus tak ada batas.

Bagaimana aku bisa salah membaca peta ?

Kini aku sampai ke tempat yang berlawanan dengan tujuanku

lantas pengikut-pengikutku jadi gila, buas tak kenal ampun

dan aku tak tahu bagaiamana menjinakkan mereka.

Mulutku sudah bisu.

Gerak tanganku tak lagi mereka mengerti.

Mereka memaksaku tetap paling depan seperti sediakala.

Meskipun aku ingin mengajak kembali saja ke pangkal jalan

tempat aku sudah tersesat. Tapi mereka terus mendorongku.

Mereka ingin melihat aku mati menurut cara mereka,

untuk menghinakan kehormatan hidup dan matiku.

Angin dini sudah menjemputku, dan kepak sayap gagak

pemakan bangkai terasa dingin di pundakku.

Takkan kulihat lagi subuh berikutnya.

 

3

“Siapa yang membawa kita ke tempat ini, harus menjadi

orang yang pertama menyeberangi sungai ini.”

“Hanya mayatnya  yang dapat menghentikan banjir ini.”

“Inilah waktu kutukan baginya.”

“Ia takbur seperti nabi palsu.”

“Ia pongah dalam diam, kejam dalam kebijaksanaan.”

“Ia hidup dari kemunafikan dan harus mati untuk itu.”

“Ia si dungu fanatik, membuat diri jadi berhala.”

“Ia penyembah roh jahat, nenek moyang perampok sejati.”

Kafilah pengembara itu tak dapat dibendung lagi.

Mereka bergerak arah ke pinggir sungai.

Di barisan paling depan terdengar hiruk-pikuk, gaduh seperti

kerasukan. Tapi hanya sesaat.

Sehabis satu lengking pekikan yang mengerikan

mereka semua diam. Senyap seketika itu juga.

Orang yang paling depan itu sudah mereka lemparkan.

Upacara sudah melewati puncaknya

Fajar pun bangkit melepas kepergiannya.

Begitulah, banjir reda subuh itu pula.

Kafilah pengembara itu sudah teramat lelah

Merekapun tidur panjang sepulas-pulasnya

Ketika mereka bangun, bertahun-tahun sudah berlalu

Mereka sudah lupa penyeberangan yang harus mereka lintasi

Mereka meneruskan pengembaraan dengan peta buatan mereka

ke arah yang dulu mereka tinggalkan. Malam demi malam berlalu;

lewat dalam keasyikan sambil mabuk tak pernah henti.

Sesekali mereka terlibat dalam pertengkaran-pertengkaran kecil.

Dan mereka mulai menyusun berisan masing-masing seperti

dulu ketika mereka masih harus melakukan perjalanan jauh

yang akhirnya membawa mereka ke pinggir sungai itu.

Tampaknya mereka semakin asyik membenahi barisan

masing-masing dan tak sadar kalau  semakin jauh tersesat

Atau barangkali mereka memang tak pernah punya tujuan

kecuali semata nasib untuk bersama-sama mengembara.

 

 

1979

DAN KEMBALI BERMIMPI (1980)

3 Comments

DAN KEMBALI BERMIMPI

Sungguh sayang, kau bilang

tak berani lagi bermimpi

melihat pantai, menghitung bintang-bintang

sambil berkejaran dengan ombak

Tak berani lagi

Kiraku kau terlalu lelah

Diayunkan ketakutan dan kebimbangan

membaca gerak di atas peta benua

bimbang pada cinta yang selalu berubah

kita harus berani bermimpi

hidup pun butuh harapan

tujuan kita bukan suatu tempat

tapi menikmati pesona perjalanan

perpisahan menunggu di ujung jalan

sebelum pertemuan buka rahasia

selepas tikungan kau ‘kan jadi berani

dan kembali bermimpi

perpisahan bikin kita bisa tahan

dalam kisah mungkin jadi abadi

West Burlington, 1980

LAGU HUJAN DARI TENGGARA (1974)

Leave a comment

LAGU HUJAN DARI TENGGARA

Kita telah menentang hangatnya matahari

Matamu mutiara hitam Asia

Kita telah bertatapan sampai bermimpi

Kulihat senyummu memendam kabut

nafasku terdesak tertahan

Tiba-tiba aku melihat dalamnya jurang

jurang

kemusnahan kita dalam waktu

Cumbuan jadi pedih menyiksa

Pada setiap sentuhan kukumu melingkar rantai

perpisahan, yang semakin panjang

siapakah engkau

malaikat atau bidadari?

Alangkah dalamnya laut

nasib kita masing-masing

Aku pendam terima kasihku padamu

sejak kau sajikan mukjizat syorga itu

di sisiku

di pantai timur semenanjung

yang lengang

yang tak meneteskan noda di atas sepi

Pejamkan matamu, dengar desau angin berlalu

selamat tingal

Di bawah titian kenangan, terbentang sayup

sungai Gangga lembah dadamu

yang gemerlapan

Kuasah pesonaku, berlinangan di sana

waktu menuliskan catatan ini

lagu hujan dari tenggara

dengan angin dan laut

kenangan bersamamu: selepas dingin memintas

Kuala Trengganu

September 1974

RHAPSODY IN BLUE (1980)

Leave a comment

RHAPSODY IN BLUE

Tanyakan, kenapa

Ia meninggalkan syorga

Takkan lagi kau bertanya, kenapa

Selalu kau dengar suaranya memanggilmu

Ia tak bermimpi atas bumi yang siang

Atau taman malam tak berduri

Nafasnya mengalun resah, sampai jauh

Sepanjang pantai panasmu

Di suatu musim bila kau bangkit

Berlari menyongsongnya

Ia teramat pucat di bawah bulan

Biru matamu menatapnya

Itulah bayangan maut yang dibunuhnya

Mungkin kau tak membaca lantas berlalu

Meskipun bagimu ia kehilangan syorga

West Burlington

1980

Seruling Kapal (1972)

Leave a comment

SERULING KAPAL

Hanya cinta juga yang menuntun mereka dalam kegelapan

Ketika tiba-tiba lampu-lampu menyala dan seruling kapal

berbunyi menandakan akan berangkat, mereka terkejut

Kegugupan menekan keduanya dengan rasa bergegas

Tak sempat mereka ucapkan sebuah sajak perpisahan

Tak sempat mereka siapkan. Dalam sinar mata keduanya

tak ada janji atau harapan;  juga tak ada sedih atas

kenang-kenangan, hanya maut yang dapat membacanya

Bintang-bintang pun kian hijau. Agaknya mereka memerlukan

seorang saksi, mereka tak membikin persetujuan apa-apa

Orang jauh itu, yang datang membawa cinta dan harapannya

tak tahu apa-apa atas perpisahan yang dijemputnya

1972

KENAPA TAK PULANG SAYANG? (1962)

1 Comment

KENAPA TAK PULANG SAYANG?

Buat Ibunda

 

Hijaunya wajah danau kita adalah rindu, sayang

Hijaunya daun-daunan rindunya perawan muda

Bisik-bisik di tepian bila hari naik senja

Kampung kita kian tahun kian lengang

Entahlah. Mana yang pergi tak ada yang pulang

Kemanakah gerangan lajang-lajang kita menghilang

Semarak kampung di rembang petang ?

Mereka hilang bersama debu perang saudara

Yang tak pulang ditelan hutan

Yang pulang berterbangan

Anakku bilang: bumi luas tempatku tualang

Rinduku pun kelabu, Ibu

Tapi empedu di kerongkongan

Ibu pun takkan kenal wajahku sekarang

Tak kan ada yang tanyakan anakmu, Ibu

Kalau pun pulang takkan dipinang

Karena kertas kuning, kata-kata yang berjaga

Takkan dikerling karena bukan logam menguning

Di Hari Raya, di hari rindu beralun-alun

Jari Upik, ai, lentiknya memetik inai

Selendangnya lepas terkibas angin, Ibu ?

Ah, salamkulah itu.

1962

YA, KITA MEMERLUKAN SEORANG KEKASIH (1967)

1 Comment

YA, KITA MEMERLUKAN SEORANG KEKASIH

Bila sungai-sungai bermuara ke lautan

Laut manakah muara bagi sungai dalam hatiku

Bila burung-burung terbang bebas di cakrawala

Manakah cakrawala tempat mengembangkan sayap

Bagi rindu yang menggelepar dalam dadaku

Bila taman-taman pun juga punya pengasuh

Siapakah pengasuh jiwaku yang buncah ini ?

Ya, kita memerlukan seorang kekasih

Hatinya bagai lautan dadanya cakrawala

Budinya lembut buat mengasuh dan menjinakkan

Ya, kita memerlukan seorang kekasih untuk

menemani kita kita membaca kisah-kisah

menampung kecewa dan meredakan gelisah

membukakan pintu di malam larut

Bila angin berlari pepohonan melambaikan jari-jarinya

Siapakah yang melambai bila aku sedang berkelana

Akar pohon-pohon berpegang erat pada tanah dan batu

Tapi jiwaku yang gamang ke manakah hendak berpegang

Akan terkatungkah aku, mencari atau menunggu

Kamarku yang suram merindukan seorang tamu

Ya, kita memerlukan seorang kekasih

Lengan-lengan yang membelai, memagut jadi satu

Menyalakan lampu, mendoa dan menyulam impian

Malaikat-malaikat syorga pun melayang rendah

Ketika Tuhan merestui satu percintaan

Hingga bumi pun simpati, turut serta orang-orang lalu

Sebab demikianlah alam, Tuhan telah ciptakan

1967

SUASANA (2010)

1 Comment

SUASANA

Waktu datang membawa gerimis

Ingatan kabur

Rindu terpaku dalam sepatu tua

Tak tahu angan kemana mau beranjak

Ada dendang masa kanak

Mengusir kecemasan

Sebelum tidur

Akankah esok masih datang pagi

Membawa salam

Dari nama yang terabaikan?

Semua sudah dimaafkan

Sebab kita pernah bahagia

12.02.10

Older Entries