MANGSA-MANGSA (1979)

2 Comments

MANGSA-MANGSA

sebuah paduan suara

 

no  no  no  hno   hno   hno   hno   hno  huk    la

tikus-tikus raksasa merobek perutku perutmu

giginya dalam bersarang mengoyak usus lidahnya

menghisap darah dalam lambung hitam

tikus tanah tikus laut tikus pulau tikus benua tikus

kuning tikus coklat tikus putih beranak-pinak

rusuk remuk tulang berdentang sumsum meleleh sampai

ke dalam mimpi ke dalam pingsan dan kuburan

 

o !  no  no  no  no  no  no

nono no nono no nono no nono o

 

mulut bangkai

mata hantu

lidah batu

siapa tahan ?

 

takutakutakutak o

takutakutakutak o

takutakutakutak o      takutak tak boom ou           nono ya

nono ya

nono ya

no ya no ya no ya no no no no no,  no, ou !

 

tikus raksasa tambang belerang

gunung berapi di kota-kota

tanah laut benua kuning coklat putih pulau hitam

lidah hijau tikus raksasa merobek tubuhmu kekasihku

lambungku lambungmu dikosongkannya

kita hanyut bersama lumpur

dan sampah mengalir malam

menuju laut  tempat berkubur

 

 

1979

BUNGA (1979)

Leave a comment

Leon Agusta

BUNGA

paduan suara

 

bunga-bunga yang tumbuh

di tumpukan tulang-tulang

mulai mekar

aroma tersebar

mengintai pengkhianat

 

bunga-bunga yang tumbuh

di tumpukan tulang-tulang

mulai mekar

aroma tersebar

mengundang prahara

 

bunga-bunga yang tumbuh

di tumpukan tulang-tulang

mulai mekar

aroma tersebar

menyiapkan medan laga

 

bila bunga-bunga yang tumbuh

di tumpukan tulang-tulang

sudah bermekaran

aroma terbang bertebaran

dari manakah datangnya kebangkitan

mengakhiri pemusnahan

 

 

1979

DI PENYEBERANGAN (1979)

Leave a comment

DI PENYEBERANGAN

 

1

Inilah saatnya !

Dalam tumpah hujan dan petir sambar menyambar

Kita harus menyeberangi mulut sungai yang menganga

di hadapan kita ini. Lihat dan dengarkan. Suara sungai itu meng-

ancam, gemuruh melintasi batu-batu seperti  ia sedang  melalap

mangsanya sampai habis dengan tulang-tulangnya. Hutan di

belakang kita sudah kita bakar; asapnya masih mengepul

menghitamkan udara

Ayoh !

Lepaskan segala jubah dan pakaian kebesaran celaka

biarkan hanyut dalam laju banjir buat pesta buaya-buaya

yang menunggu di muara dengan lapar haus darah

Tongkat kita bukan dari Musa. Kita juga tak punya perahu

Nuh.

Kita tak punya sesuatu yang membawa mukjizat

Seharusnya kita sudah menyeberang sejak dulu; seperti

orang lain ketika betemu hulu sungai yang jernih; ketika masih

ada waktu membuat rakit. Kini sudah terlambat.

Masihkah kita bisa berdoa ?

Kita sudah mengembara jauh sekali untuk mengelakkan

tempat ini. Kenapa kita bisa sampai di sini? Oh, Tuhan !

Pengikut-pengikut kita sudah mulai memuntahkan sumpah

dan kutukannya. Gelora banjir membongkar keberaniannya

hingga jadi haus darah. Kegilaan ini sungguh mustahil. Mereka

siap melemparkan kita.

Lidah banjir menjilat-jilat bibir sungai seperti ular bersiap

sebelum menerkam. Di atas kepala burung-burung pemakan

bangkai mengepakkan sayapnya mencari mangsa. Suaranya

melengking-lengking menunggu waktu untuk berpesta.

 

2

Aneh !

Kenapa tiba-tiba teriakan mereka terasa sebagai sesuatu

yang benar ? Tapi mengerikan, oh Tuhan. Alangkah enaknya

bila tak punya pengikut. Kenapa aku tak menjadi manusia biasa

saja ? Kenapa tak Kau ciptakan aku jadi air saja, atau angin,

atau cahaya ?

Kini aku harus menyeberangkan mereka semua. Tapi me-

reka hanya percaya akan bisa selamat bila darahku ditumpahkan

ke dalam banjir gila ini sebagai persembahan upacara yang

mereka ciptakan sendiri untuk memusnahkan kekuasaanku.

Tak pernah aku berikan ajaran sedemikian

Ini kegilaan nasib semata-mata. Mereka keliru menafsirkan

keinginannya. Kini mereka mulai menuduhku, takbur dan

pongah, ganas dan pengecut. Padahal, akulah yang lahir seba-

gai penakluk gurun dan padang, semenanjung dan lautan, bahkan

jagat  raya

Mereka adalah umat yang taat, Tuhan. Dan kepadaku

mereka teramat penurut. Juga waktu melintasi padang-padang

luas, merangkaki rimba belantara dan gurun tandus tak ada batas.

Bagaimana aku bisa salah membaca peta ?

Kini aku sampai ke tempat yang berlawanan dengan tujuanku

lantas pengikut-pengikutku jadi gila, buas tak kenal ampun

dan aku tak tahu bagaiamana menjinakkan mereka.

Mulutku sudah bisu.

Gerak tanganku tak lagi mereka mengerti.

Mereka memaksaku tetap paling depan seperti sediakala.

Meskipun aku ingin mengajak kembali saja ke pangkal jalan

tempat aku sudah tersesat. Tapi mereka terus mendorongku.

Mereka ingin melihat aku mati menurut cara mereka,

untuk menghinakan kehormatan hidup dan matiku.

Angin dini sudah menjemputku, dan kepak sayap gagak

pemakan bangkai terasa dingin di pundakku.

Takkan kulihat lagi subuh berikutnya.

 

3

“Siapa yang membawa kita ke tempat ini, harus menjadi

orang yang pertama menyeberangi sungai ini.”

“Hanya mayatnya  yang dapat menghentikan banjir ini.”

“Inilah waktu kutukan baginya.”

“Ia takbur seperti nabi palsu.”

“Ia pongah dalam diam, kejam dalam kebijaksanaan.”

“Ia hidup dari kemunafikan dan harus mati untuk itu.”

“Ia si dungu fanatik, membuat diri jadi berhala.”

“Ia penyembah roh jahat, nenek moyang perampok sejati.”

Kafilah pengembara itu tak dapat dibendung lagi.

Mereka bergerak arah ke pinggir sungai.

Di barisan paling depan terdengar hiruk-pikuk, gaduh seperti

kerasukan. Tapi hanya sesaat.

Sehabis satu lengking pekikan yang mengerikan

mereka semua diam. Senyap seketika itu juga.

Orang yang paling depan itu sudah mereka lemparkan.

Upacara sudah melewati puncaknya

Fajar pun bangkit melepas kepergiannya.

Begitulah, banjir reda subuh itu pula.

Kafilah pengembara itu sudah teramat lelah

Merekapun tidur panjang sepulas-pulasnya

Ketika mereka bangun, bertahun-tahun sudah berlalu

Mereka sudah lupa penyeberangan yang harus mereka lintasi

Mereka meneruskan pengembaraan dengan peta buatan mereka

ke arah yang dulu mereka tinggalkan. Malam demi malam berlalu;

lewat dalam keasyikan sambil mabuk tak pernah henti.

Sesekali mereka terlibat dalam pertengkaran-pertengkaran kecil.

Dan mereka mulai menyusun berisan masing-masing seperti

dulu ketika mereka masih harus melakukan perjalanan jauh

yang akhirnya membawa mereka ke pinggir sungai itu.

Tampaknya mereka semakin asyik membenahi barisan

masing-masing dan tak sadar kalau  semakin jauh tersesat

Atau barangkali mereka memang tak pernah punya tujuan

kecuali semata nasib untuk bersama-sama mengembara.

 

 

1979